Sabtu, 24 Juli 2010

TUT WURI HANDAYANI



Oleh: Siti Amelia

Tut Wuri Handayani. Dalam bahasa Jawa berbunyi "ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani", artinya di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung. Dalam dunia pendidikan, semboyan yang dibuat oleh Ki Hajar Dewantara ini sudah tak asing lagi. Semboyan ini dipilih menjadi semboyan pendidikan Indonesia.

Saat Ki Hajar Dewantara membuat semboyan ini, sistem pendidikan Indonesia masih murni untuk mendidik manusia Indonesia. Dengan tujuan untuk menambah pengetahuan serta meningkatkan intelektualitas manusia Indonesia, sehingga pengetahuan yang diterima dapat berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat juga negara. Diharapkan terciptanya bangsa yang cerdas, berpendidikan dan bisa memajukan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar, bisa tercapai.

Hingga kini, cita-cita murni dari Ki Hajar Dewantara tersebut masih tetap “dikumandangkan”. Terlebih saat hari-hari besar pendidikan, seperti Hari Pendidikan Nasional yang diperingati tanggal 2 Mei setiap tahunnya. Tujuan dari semua ini adalah agar para pemuda Indonesia memiliki moral lebih baik. Sehingga cita-cita yang terkandung di dalam Tut Wuri Handayani ini dapat terwujud.

Tapi nyatanya, kemurnian semboyan Tut Wuri Handayani telah tercoreng. Tujuan menambah pengetahuan dan meningkatkan intelektualitas telah bertambah dengan "ketenaran" dan  prestise. Meningkatkan intelektualitas dan pengetahuan bukan lagi hal yang utama.  Banyak pemuda kini lebih suka membanggakan diri dengan status lembaga pendidikannya, bukan ilmu yang didapatnya.

Oleh siswa, ketenaran “dicari” melalui sekolah favorit. Sekolah-sekolah yang berkualitas dan memiliki reputasi baik menjadi rebutan, terutama terjadi pada sekolah negeri. Karena, siswa-siswa yang masuk ke sekolah negeri favorit merupakan siswa-siswa pilihan yang memiliki intelektualitas yang tinggi. Coba kita tanya pada diri sendiri. Siapa yang tidak ingin dianggap intelek? Jawabnya, semua ingin. Tak hanya diri sendiri, setiap orangtua juga ingin anaknya dianggap intelek.

Orangtua yang memiliki uang berlebih dan  ingin anaknya dianggap intelek, tentu akan melakukan apa saja untuk menyekolahkan anaknya di sekolah favorit. Jika anaknya memang intelek dan mampu, tidak ada masalah. Namun bagaimana jika anaknya kurang intelek?

 Aksi sogok menyogok pun dilakukan kepada sekolah  favorit. Parahnya lagi, oleh oknum pendidikan di sekolah favorit, hal ini disambut baik. Ini terjadi karena kesejahteraan para pendidik kurang memadai. Bak gayung bersambut “aksi” ini pun menjadi tradisi.

Namun semua tidak hanya berhenti saat penerimaan siswa baru. Kurangnya kemampuan anak untuk mencerna ilmu pengetahuan yang diberikan sekolah favorit menjadi “momok”.  Sebabnya sudah pasti, jika anak didik tidak dapat mengikuti pelajaran, tinggal kelas menjadi solusi sekolah. Namun, orangtua pasti malu kalau anaknya tinggal kelas. Untuk itu, anak yang tidak mampu mengikuti pelajaran harus terus 'disokong' orangtuanya. Wujudnya, pundi-pundi rupiah harus terus dikeluarkan orangtua. Dan pastinya, sekolah juga 'terpaksa' terus berupaya menutupi ketidakmampuan anak didiknya. Karena, jika masyarakat luas mengetahui sekolah favorit ini memiliki anak didik yang tidak mampu mengikuti pelajaran, ketenaran sekolah akan "luntur". Sehingga kepercayaan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut akan hilang
Penyelewengan cita-cita Tut Wuri Handayani lain yang masih hangat ditelinga kita adalah saat Ujian Nasional (UN) Sekolah Menengah Atas (SMA). Siswa SMA Kelas III, dihadapkan pada dilema sistem pendidikan yang cukup mengerikan. Sistem pendidikan tidak menolerir kesilapan. Sekali kalah dalam UN, pendidikan dan prestasi yang diterima selama tiga tahun sekolah dianggap tidak ada. Karena itu siswa yang merasa kurang mampu dalam menghadapi UN “terpaksa” untuk curang.

Dan oknum sekolah pun turut membantu siswanya untuk melakukan kecurangan. Tak tanggung-tanggung, untuk mendapatkan kunci jawaban setiap mata pelajaran, siswa bisa membayar hingga Rp750 ribu. Ini menandakan takutnya pelaku pendidikan pada kegagalan.

Dengan kecurangan ini, ilmu pengetahuan dan sikap intelektual yang didapat selama tiga tahun sekolah seakan sirna. Siswa tidak lagi memiliki kepercayaan akan ilmu yang dimilikinya. Pada kenyataan ini, siapa yang bisa kita salahkan? 

Jawabannnya, tidak ada yang bisa disalahkan. Karena hal ini merupakan mata rantai kecurangan yang tidak sengaja terbangun oleh kenginan untuk meningkatkan prestise.

Tidak hanya sampai SMA. Prestise juga dicari hingga ditingkat perguruan tinggi.  Bisa masuk perguruan tinggi negeri seperti Universitas Sumatera Utara (USU), merupakan suatu kebanggaan. Mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi negeri umumnya pintar. Karena para mahasiswa tersebut adalah siswa-siswa pilihan yang bisa menyingkirkan ribuan siswa lain dalam penjaringan ujian masuk. Tak hanya itu, uang kuliah yang akan dikeluarkan jika kuliah di USU tidaklah besar.

Di dunia pekerjaan, nama USU juga disambut baik. Tak salah jika Ujian Masuk Bersama Perguruan Tinggi Negeri (UMB-PTN) yang digelar USU, diminati semua lulusan SMA. 

Dari sini, siswa yang tidak lulus UMB-PTN, belum menyerah untuk mendapatkan ketenaran USU. Jalur regular pun diambil. Untuk mendapatkan prestise USU ini, orangtua harus mengeluarkan uang yang lebih banyak atau sama dengan memasuki perguruan tinggi swasta. Mungkin dalam pemikiran orangtua, tidak apa-apalah yang penting USU.

Jika pelaku pendidikan Indonesia terus mengidolakan ketenaran, lambat laun intelektualitas manusia Indonesia tentu akan berkurang. Terlebih jika "jual beli ketenaran" terus terjadi, kebobrokan dunia pendidikan tidak akan terhapuskan. Dan pastinya, tujuan Ki Hajar Dewantara dengan Tut Wuri Handayani tak akan tercapai.

Pastinya, hal ini tidak boleh terjadi. Untuk mengatasi persoalan ini, Kementrian pendidikan nasional (Kemendiknas) tengah mencanangkan pendidikan karakter di lingkup dunia pendidikan. Langkah-langkah penerapan pendidikan karakter juga tengah disusun oleh Kemendiknas.

Oleh pemerintah, pendidikan karakter ini diyakini bisa mendidik pemuda Indonesia agar lebih jujur. Semoga dengan pendidikan karakter ini, kebobrokan dunia pendidikan bisa diminimalisir, bahkan dihapuskan. Sehingga Indonesia bisa menjadi negara yang memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan tangguh. Maka tujuan memajukan bangsa bisa terwujud dan bisa menang dalam persaingan keras globalisasi.


Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 komentar:

Posting Komentar

makasaih y atas masukanya... :)

Achmads blog © 2008. Design by :vio Templates Sponsored by: gold bola